Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

 on Kamis, 04 April 2013  


                          Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
·   Perbuatan, yaitu perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan.
·   Satu orang atau lebih, untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok atau pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
·   Mengikatkan dirinya, di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Berdasar ketentuan hukum yang berlaku, dalam pasal 1320 BW, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :
              1.Adanya Kesepakatan Para Pihak untuk Mengikatkan Diri 
Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri artinya bahwa semua pihak menyetujui atau sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan ataupun penipuan. Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut.
Adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW), adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
                 2. Kecakapan Para Pihak untuk Membuat Perjanjian
Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah kawin. Jadi, dapat dinyatakan bahwa setiap orang  cakap untuk membuat  perjanjian-perjanjian kecuali oleh undang-undang tidak menghendaki.  
Menurut pasal 1330 BW, orang-orang yang dinyatakan tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa artinya orang-orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
                  3. Suatu Hal Tertentu
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
                  4. Suatu Sebab atau Causa yang Halal
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila :
·      Tidak bertentangan dengan undang-undang
·      Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
·      Tidak bertentangan dengan kesusilaan

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena menyangkut subyek. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena menyangkut obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
2.2  Akibat  dari Adanya Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW. Mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu syarat pertama (adanya kata sepakat) dan syarat kedua (adanya kecakapan) yang diatur alam pasal 1320 KUH.Perdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian.
Apabila syarat diatas tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjiannya dibatalkan (vernietigbaar). Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat. Perjanjiannya dibatalkan (vernietigbaar) yang berarti  perjanjian tetap berlangsung selama para pihak atau pihak ketiga yang terkait dengan perjanjian belum memintakan pembatalan dan diputuskan batal.
Sedangkan, yang berkaitan dengan syarat ketiga yaitu adanya hal tertentu atau objek perjanjian dan yang keempat (adanya causa yang diperbolehkan) yang diatur dalam pasal 1320 KUH.Perdata disebut dengan syarat obyektif, karena hal itu mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietigheid/nietig van rechts wege) . Batal demi hukum (nietigheid/nietig van rechts wege)  yang artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).
Walaupun dalam suatu perjanjian sudah berdasarkan dengan syarat sahnya perjanjian, perjanjian tersebut akan mempubyai akibat. Akibat dari adanya perjanjian ini diatur dalam pasal 1338 KUH.Perdata. Berikut ini terperinci akibat dari adanya perjanjian menurut KUH.Perdata, sebagai berikut :
1.      Semua perjanjian yang dibuat secara sah menurut undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Artinya apabila perjanjian itu dilanggar oleh salah satu pihak dapat dituntut dimuka hakim. Disamping itu perjanjian yang dibuat itu mengikat sifatnya kepada kedua belah pihak.
2.      Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat atau persetujuan kedua belah pihak.
Dalam artian, jika membatalkan suatu perjanjian secara sepihak dilarang, karena kata sepakat antara kedua belah pihak merupakan syarat sahnya suatu perjanjian.
3.      Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Untuk menentukan kriteria dengan itikad baik memang sulit sehingga diperlukan adanya penafsiran sesuai dengan pasal 1339 KUH.Perdata yaitu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Untuk mengaktualisasikan isi Pasal 1339 KUH.Perdata ada beberapa pedoman cara penafsiran dalam pelaksanaan penafsiran, yaitu :
1.   Jika kata-kata dalam perjanjian itu sudah jelas, tidak diperkenankan ditafsirkan (Pasal 1342 KUH.Perdata).
2.   Untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian ada beberapa pedoman seperti :
1)      Maksud pihak-pihak mencari penjelasan dari pihak-pihak tentang maksud dari isi perjanjian tersebut (pasal 1343 KUH.Perdata).
2)      Memungkinkan perjanjian itu dilaksanakan (Pasal 1343 KUH.Perdata).
3)      Kebiasaan setempat (Pasal 1346 KUH.Perdata).
4)      Dalam hubungan perjanjian keseluruhan (Pasal 1348 KUH.Perdata).
5)      Berdasarkan akal sehat (common sense).

Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.


2.3    Perbedaan Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Antara Hukum Privat Dengan Hukum Publik
Menurut Hukum privat, Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      cakap untuk membuat perikatan
3.      suatu hal tertentu
4.      suatu sebab atau causa yang halal
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi. Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
1.      perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun multilateral
2.      penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta melalui pemungutan suara
3.      kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi.
Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
4.      persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
1)      penandatanganan,
Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :
- persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut
-  bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya
- bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui demikian
- bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.
2)      pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di negara anggota.
Namun akibat yang ditimbulkan dari adanya suatu perjanjian menurut hukum publik, yaitu:
1.   Bagi negara pihak :
Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2.      Bagi negara lain
Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.
Perjanjian, baik ditinjau dari sudut hukum privat maupun publik, sama-sama memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan perjanjian yang berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua belah pihak, dalam lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua belah pihak namun juga pihak ketiga.
Selain itu subjek perjanjian dalam lapangan hukum privat adalah individu atau badan hukum, sementara subjek perjanjian dalam lapangan hukum publik adalah subjek hukum internasional yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan pembebasan.



3 komentar:

J-Theme